BerandaOpiniRDP dan Kajian Tentang Otsus Harus Pentingkan Rakyat Bukan Elit Politik, Awas...

RDP dan Kajian Tentang Otsus Harus Pentingkan Rakyat Bukan Elit Politik, Awas Akar Rumput Marah

Oleh : Alexander Gobai

Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang akan dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sebagai fasilitator untuk rakyat Papua dalam waktu yang tidak lama menjadi buming di Tanah Papua. Masyarakat Papua bertanya-tanya hingga penasaran apa saja yang akan dibahas di dalam RDP dan siapa saja yang akan diundang, apakah Pelanggaran Hak Politik juga akan dibahas ataukah aspek lainnya saja?

Isu dan perbicangan itu mengangkat tensi rakyat Papua agar RDP dapat dilakukan secara terbuka dan transparan kepada rakyat Papua. Sehingga,  setiap kerinduan dan harapan rakyat Papua bisa disampaikan secara  transparan demi kemajuan Tanah Papua yang bebas.

Maksud dari bebas ialah bebas dari intimidasi, diskriminasi, kecurigaan, keraguan, teror, persekusi, perampasan dan macam-macam. Sehingga, ekspresi atau kebebasan dalam penyampaian pendapat oleh rakyat Papua dapat diterima dan disimpulkan sebagai bahan dasar aspirasi rakyat Papua untuk dipergunakan demi kepentingan rakyat Papua dan Tanah papua.

Di akhir bulan Agustus 2020, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua dalam hal ini Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus berpergian menuju Jakarta demi membahas Otonomi Khusus secara tertutup di salah satu hotel di Jakarta. Kepergian DPR Papua selain mengiktuti upacara pernikahan di Bali tetapi juga mengisi agenda untuk membahas Otsus secara terhormat dan tertutup. Agenda yang dilakukan DPR Papua adalah bagian dari wujud menutup harapan orang Papua demi masyarakat dan Tanah Papua yang selama ini diderita, dianiaya, diperkosa dan dibunuh rakyatnya sendiri di atas Tanah Papua.

Mesti dialami dan diresapi baik, Kehadiran Otonomi Khusus di Tanah Papua bukan mensejahterakan orang Papua di atas tanahnya sendiri, bukan memberikan peluang, kesempatan, keberhasilan dan kebebasan bagi orang Papua. Bahwasannya, Otsus bagian dari “DARAH” yang dititip oleh penguasan untuk rakyat Papua “mandi darah”.

Selain DPR Papua, Rombongan Majelis Rakyat Papua dan Staf MRP juga menuju ke Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2020 dan bertemu dengan Majelis Rakyat Papua Barat di hari yang bersamaan guna membahasa Otsus dalam agenda RDP.

Berita yang dimuat Jubi edisi 1 September 2020 bahwa MRP dan MRPB sepakat menggelar RDP tentang Pelaksanaan Otsus dalam satu dokumen kerja sama kedua Lembaga. RDP digelar sebelum  bertemu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI, Tito Karnavian dan DPR RI dalam kunjungan kerja selama sepakan di Jakarta pada 31 Agustus – 4 September 2020. Selain itu, MRP dan MRPB juga sepakat tarik kembali draf Revisi UU Otsus. Untuk dibahas bersama Orang Asli Papua (OAP).

Pada tanggal 2 September 2020,  seperti yang dikutip Jubi bahwa MRP dan MRPB juga melakukan  Fokus Grup Diskusi (FGD) dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta, guna  mendengar masukan terkait konflik Papua dan Otsus Papua.

Sejumlah kegiatan yang dilakukan Lembaga Pemerintah, baik DPR Papua dan MRP adalah bagian dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang bertujuan menghabiskan Sisa Dana Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua dan Papua Barat. Upaya yang dilakukan baik Pemerintah, DPR Papua, dan MRP dan MRPB adalah mencari jalan agar RDP berhasil sesuai dengan keinginan rakyat Papua. Nyatanya, Konsistensi dan Komitmen dalam menjaring aspirasi Rakyat Papua tidak tepat dan pada sasarannya.

Sebagai solusi dari penulis sebagai berikut, 1) RDP secara Skala Kecil mesti dilakukan kepada rakyat Papua, Mengundang Pihak-Pihak yang akan diundang dalam Agenda Pembahasan RDP nantinya. 2) Program RDP mesti disosialisakan kepada pihak-pihak yang akan diundang pada saat hari puncaknya.

Selain itu, seperti yang dilansir di Papua.go.id , Tim Akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, menyerahkan hasil kajian Draft UU Otsus kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, Rabu (16/9/2020), di Jayapura.

Hasil kajian itu memuat tiga komponen yang kemudian bakal menjadi draf UU Otsus untuk di dorong kepada pemerintah pusat.

Tiga komponen itu yakni mengenai evaluasi UU Otsus itu sendiri, masalah pemekaran wilayah serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan telah menginstruksikan staf guna mempelajari hasil kajian tersebut, untuk selanjutnya dirumuskan serta didorong kepada pemerintah pusat.

Lukas sebenarnya mengaku kecewa dan tak lagi mau mendorong perpanjangan UU Otsus. Sebab pada 2015 lalu, Pemprov Papua ditolak saat mendorong UU Otsus Plus. Ia tahu UU Otsus yang akan berakhir pada 2021 bakal memicu persoalan.

Kendati demikian selaku pimpinan daerah ia tak sampai hati melihat warganya menjadi korban akibat adanya suara dan aspirasi minta merdeka dari pihak tertentu.

Menurut pengamat penulis atas Kajian Evaluasi Otsus yang dikaji Akademisi Universitas Cendrawasih justru menambah luka  hati bagi rakyat Papua dan luka Gubuernur Papua. Bahwa Sesungguhnya,  Gubernur Papua tidak menginginkan adanya Pemekaran Otonomi Daerah yang pernah disampaikan oleh gubernur pada periode pertama Gubenur Papua, Lukas Enembe menjabat.

Bukan hanya Gubernur Papua, Lukas Enembe yang merasa kekecewaan, melainkan masyarakat Papua secara keseluruhan di Tanah Papua. Semestinya, Akademisi Uncen berpikir logis dan menata kajian yang diinginkan masyarakat Papua, bukan keinginan Jakarta Pusat dan Elit Politik.

Selain itu, Kajian yang dilakukan Uncen itu belum maksimal. Mengapa, beberapa bulan lalu, beberapa organisasi baik Advokat, Tokoh Agama, Akademisi menyelenggarakan Daring online tentang KKR, hasil dari diskusi itu merupakan salah satu rekomendasi untuk dimasukan di dalam Draf Kajian itu. Kedua, Banyak Daerah meminta  daerah Otonomi Baru, baik Provinsi  dan Kabupaten, dinamika itu menjadi rekomendasi di dalam Draf Kajian Akademisi  Uncen.

Sesungguhnya Kajian itu yang penulis amati, justru tidak ada benang merah demi kepentingan rakyat Papua, justru mengada-ngada demi kepentingan Elit Politik dan Jakarta.

Sebagai solusi dari saya, mestinya Akademisi Uncen berdiri sebagai Akademisi yang independent tidak memihak siapa-siapa. Melihat apa kemauan masyarakat Papua. Kedua, Akademisi Uncen mesti harus melakukan komunikasi Intens dengan Majelis Rakyat Papua demi menyatukan satu kajian yang sungguh-sungguh menyentuh hati rakyat Papua.

Apakah Akar Rumput akan Bangkit dan Lawan?

Ruang demokrasi masih terbuka bagi siapa saja yang ingin menyampaikan aspirasi dimuka umum, karena dimuat di dalam UU No 9 Tahun 1998 dan UUD pasal 28E.

Rakyat Papua sedang memandang, apa yang dikerjakan oleh Lembaga-lembaga Pemerintah dalam Pembahasan UU Otsus dan Pelanggaran Hak Politik dan permasalahan lainnya demi Papua yang baik dan Papua yang bebas. Rakyat Papua menginginkan kebebasan yang sesungguhnya. Bebas dari segalah hal, salah satunya bebas dari Hak Politik. Konsistensi itu, sejak tahun 61 hingga saat ini masih dipertahankan dan terus akan diperjuangkan oleh militansi muda saat ini.

Apakah Sikap Lembaga Pemerintah yang konsistensi bisa meredam  amarah Akar Rumput? Ataukah Sikap Akara Rumput bisa dikontrolkan? Jangan sampai situasi akan berubah menjadi isu panas dan Papua Goyang!

Sebagai kesimpulan dari penulis, Lembaga Pemerintah mesti terbuka dan transaparan kepada rakyat Papua tentang kebijakan tentang Tanah Papua baik dan bebas. Sikap itu mencerminkan bahan komunikasi yang mesti terjaring baik antara satu rumpun Melanesia.

*) Penulis adalah Eks Tapol Korban Rasisme Tinggal di Jayapura.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer

Komentar Terbaru

error: Content is protected !!