JAYAPURA – Melestarikan budaya tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah. Kolaborasi kreator, seniman, komunitas adat, dan generasi muda menjadi kunci agar budaya Papua tetap hidup di tengah arus perubahan zaman. Hal itu mengemuka dalam Diskusi Budaya bertema “Memperkuat Ekosistem Komunitas Budaya dan Kreator untuk Pemajuan Kebudayaan Papua” yang digelar Imaji Papua bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XXII, Kamis (25/9) di Grand Abe Hotel, Abepura.
Diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam ini menghadirkan empat narasumber: Billy Tokoro (Founder Pace Kreatif), Enrico Kondologit (Kepala Museum Uncen/Antropolog Papua), Agustinus Ohee (Seniman/Budayawan), dan Dessy Polla Usmany (Kepala BPK Wilayah XXII Kementerian Kebudayaan RI). Diskusi dipandu oleh Iriandi Tagihuma.
Ketua Imaji Papua, Yulika Anastasia, menyebut forum ini digagas untuk mempertemukan para pelaku budaya, seniman, dan kreator konten.
“Dengan diskusi, kita bisa temukan hal-hal baru yang bisa dikerjakan bersama, berdampak positif, sekaligus mempromosikan Papua,” ujarnya.
Seniman senior, Agustinus Ohee, menyoroti minimnya ruang bagi seniman berkarya, termasuk vakumnya Festival Danau Sentani tahun ini.
“Seni rupa pun mati karena tidak ada art center, tempat seniman berkarya dan memasarkan karyanya,” ungkapnya.
Sementara itu, Billy Tokoro mengajak anak muda kembali mengangkat potensi kampung halaman.
“Orang kampung melihat hal sederhana sebagai biasa, tapi ketika dikemas kreatif di media sosial, bisa jadi daya tarik besar,” katanya.
Enrico Kondologit menekankan pentingnya pewarisan budaya di tengah tantangan globalisasi.
“Kebudayaan eksis ketika diwariskan. Kita perlu cara agar tetap menarik bagi generasi muda,” jelasnya.
Dessy Polla Usmany mendorong pemerintah daerah menggelar Pekan Kebudayaan Daerah secara rutin.
“Dengan panggung budaya, para seniman punya ruang berekspresi sekaligus menggerakkan ekonomi kreatif,” ujarnya.
Diskusi ini juga mendapat tanggapan beragam dari mahasiswa ISBI Jayapura, mahasiswa Antropologi Uncen, hingga pelaku ekraf Papua. Isu yang mengemuka antara lain minimnya pewarisan bahasa daerah, penyalahgunaan motif adat, serta tren busana non-Papua yang semakin mendominasi.
Menutup diskusi, para pembicara sepakat bahwa pelestarian budaya tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kolaborasi kreator, seniman, komunitas adat, dan generasi muda menjadi kunci agar budaya Papua tetap hidup di tengah perubahan zaman. **