BerandaKilas PapuaLBH Papua: Negara Tak Mampu Lindungi Hak Konstitusional dan HAM Masyarakat Sipil...

LBH Papua: Negara Tak Mampu Lindungi Hak Konstitusional dan HAM Masyarakat Sipil Papua

JAYAPURA-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengeluarkan pernyataan bahwa negara sudah tidak mampu melindungi hak konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM) Masyarakat Sipil Papua.

“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat gagal menjalankan perintah Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 di Seluruh Papua,” Kata Direktur LBH Papua, Emanuel Gobai,SH,MH di Abepura, Kamis (10/12).

Pada prinsipnya kata Gobai, Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) salah satu ciri pokok dari Negara hukum adalah melindungi hak asasi warga negara dengan cara memasukannya beberapa pasal atau BAB dalam Konstitusi negaranya. Secara yuridis negara Indonesia telah memenuhi ketentuan tersebut melalui fakta yuridis dimana telah adalah ketentuan HAM pada BAB Xa, Pasal 28A-28j, UUD 1945.

Dalam salah satu pasal tersebut secara tegas disebutkan bahwa perlindungan, kemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

Sekalipun demikian, berdasarkan penanganan dan pemantauan kasus pelanggaran HAM di wilayah Papua dalam tahun 2020 telah banyak terjadi pelanggaran HAM baik hak sipil dan politik, ekonomi, social, budaya dan dugaan Pelanggaran HAM Berat.

“Berdasarkan fakta ditemukan tingginya pelanggaran hak sipil sebagaimana terlihat pada fakta pembungkaman ruang demokrasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat sipil papua yang hendak memperjuangkan isu anti rasisme, pembabasan Tapol Papua, penolakan UU Ominus law dan penolakan UU Otsus mengunakan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dengan berbagai alasan yang intinya bertentangan dengan prinsip pembatasan kebebasan HAM sebagaimana diwajibkan oleh pasal 28j ayat (1), UUD 1945,” urainya.

fakta perampasan tanah adat ujar Gobai, terlihat melalui penerbitan SK Gubernur Papua Nomor: 540/11625/SET, Perihal: Rekomendasi Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), Kepada Direktur Utama PT. Mining Industry Indonesia (MIND ID) tertanggal 24 Juli 2020 tanpa sepengetahuan masyarakat adat migani sebagai pemilik tanah adat.

Lanjutnya, konteks politik ditemukan fakta konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN PB selama tahun 2020 telah melahirkan pelanggaran hak hidup yang dialami oleh Ronny Wandik dan Eden Armando Bebari (Maret 2020), Selu Karunggu dan Elias Karunggu (Juli 2020), Pendeta Yeremia Zanambani (September 2020), Pewarta Agustinus Duwitau (Oktober 2020), Pewarta Rufinus Tipagau (Oktober 2020) dan 5 orang (Atanius Murib , Aki Alom, Wapenus Tabuni dan Warius Murib) masyarakat sipil kabupaten puncak (November 2020). Selain itu, banyak masyarakat sipil di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya dan Mimika mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-POLRI melawan TPN PB yang berlangsung sejak tahun 2018 sampai dengan 2020.

“Maka, ditemukan tingginya pelanggaran hak ekonomi sebagaimana terlihat pada kasus maraknya perusahaan sawit yang dihadirkan pemerintah melalui pemberian HGU tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua pemilik tanah adat, itu melahirkan penghisapan buruh yang hebat melalui fakta pemberian upah kepada buruh sawit yang tidak sesuai Upah Minimum Propinsi (UMP) Propinsi Papua dan Papua Barat,” Katanya.

Lanjut Gobai, mayoritas belum diangkatnya 12.447 tenaga Honorer menjadi PNS dilingkungan pemerintah kabupaten, kota dan Propinsi Se-Propinsi Papua yang menunjukan adanya sistim perbudakan modern dalam tubuh pemerintah se-Propinsi Papua akibat waktu kerja tenaga honorer yang lebih dari 8 jam kerja tanpa pesangon yang dibayar 2 (dua) kali dalam setahun dimana upahnya dibawah dari UMP Propinsi Papua.

Selain itu tutur Gobai, kondisi 8.300 buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia yang diabaikan nasibnya oleh pemerintah dan perusahaan sejak tahun 2017 – 2020 yang telah memakan korban pelanggaran hak hidup 72 Buruh karena tidak mampu memenuhi biaya pemenuhan kesehatan serta terputusnya pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak buruh mogok kerja dan terpecahnya bahtera keluarga karena masalah ekonomi pasca dicabutnya Upah dan BPJS oleh PT.Freeport Indonesia pada tanggal 1 Juli 2017 sampai saat ini. S

“Nasib mama-mama papua yang berjualan dengan modal apa adanya tanpa beck up-an pemerintah dan perusahaan melalui program CSR diatas tempat yang tidak layak baik di pasar umum dan di emperan jalan raya.

“Dalam konteks hak sosial melalui fakta diabaikannya nasib pengungsi baik dari wilayah kabupaten nduga, intan jaya dan timika mencatat tidak tepenuhinya ha katas pendidikan bagi anak, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan hak atas tempat tinggal.

Kata Gobai, Adapun mahasiswa kedokteran uncen yang terancam di Drop Out (DO) oleh Dekan Fakultas Kedokteran hanya karena ketidakmampuan membayar biaya SPP Variabel dan SPP Tetap. Selain itu, sampai saat ini belum ada layanan khusus pemenuhan hak atas kesehatan bagi tersangka dan terdakwa yang ODHA/ODHIV yang ditahan di Sel Kepolisian dan bahkan ada beberapa ODHA/ODHIV di Papua yang meninggal dunia akibat berhenti mengkonsumsi ARV dan beralih ke putil plasenta yang dijual tanpa ijin BPOM.

“Dalam konteks pemenuhan hak budaya sampai saat ini belum ada kebijakan khusus pendidikan muatan lokal yang wajib di ajarkan di SD, SLTP dan SLTA di seluruh wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat sehingga berdampak pada degradasi identitas budaya salah satunya adalah degradasi bahasa daerah,” Ujarnya.

Terlepas dari itu, lanjut Gobai, perlindungan terhadap perempuan dan anak di papua juga masih jauh dari harapan sebab faktanya sampai saat ini Palang Merah Indonesia, komnas perempuan republik Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam tahun 2020 tidak melakukan invetigasi atas nasib perempuan dan anak kasus kekerasan dalam keluarga hanya melindungi keluarga yang menikah secara catatan sipil

“Sampai saat ini, Negara melalui pemerintah belum mampu memenuhi hak atas keadilan bagi korban Pelanggaran HAM Berat Wamena Berdarah (2000), Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah (2002-2003) dan Pelanggaran HAM Berat Paniai Berdarah (2014) sekalipun pemerintah telah memberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” Katanya.

Selain itu, Gobai menyatakan,  dtahun 2020 saja berdasarkan pengaduan ke Komnas HAM RI maupun Komnas HAM RI Perwakilan Papua terdapat 5 (lima) Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat, yaitu : 1). Dugaan Pelanggaran HAM Berat terhadap 72 orang Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia, 2). Dugaan Pelanggaran HAM Berat terhadap 5 orang masyarakat sipil di Kabupaten Nduga, 3). Dugaan Pelanggaran HAM Berat terhadap 2 orang masyarakat sipil di Kabupaten Nduga, 4). Dugaan Pelanggaran HAM Berat terhadap Pendeta Yeremia Zanambani dan 5). Dugaan Pelanggaran HAM Berat terhadap 5 orang masyarakat sipil di Kabupaten Puncak.

“Presiden Republik Indonesia Cq Gubernur Propinsi Propinsi Papua Cq Gubernur Propinsi Papua Barat dan Bupati/Walikota se-Propinsi Papua dan Papua Barat untuk wajib mengimplementasikan perintah Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) bagi seluruh masyarakat sipil di wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat,” Katanya.

Kata Gobai, Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10, UUD 1945) wajib perintahkan anggotanya untuk menjalankan perintah Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) bagi seluruh masyarakat sipil di wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat dan mematuhi perintah Pasal 3 ayar (1), Konpensi Jenewa yang telah diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1959 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949;

Lanjutnya, Kapolri sebagai pimpinan penegak hukum memerintahkan bawahannya untuk menjalankan perintah Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) sebagaimana telah di tegaskan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Pokok Hak Asasi Manusia dalam Tugas-Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

“Ketua DPR RI, Ketua DPRP, Ketua DPRP dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota Se-Propinsi Papua dan Papua barat wajib mengawasi Presiden Republik Indonesia, Kepala Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota Se-Propinsi Papua mengimplementasikan perintah Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28i ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) bagi seluruh masyarakat sipil di wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat, “ Ujarnya.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia segerah mengambil 3 (tiga) Berkas Kasus Pelanggaran HAM Berat Papua dari Komnas HAM RI dan melanjutkan penyelidikan dan penuntutan atas 3 (tiga) Kasus Pelanggaran HAM Berat Papua mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Komnas HAM Republik Indonesia segera mendorong mengivestigasi Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang telah diadukan ke Komnas HAM RI maupun Komnas HAM RI Perwakilan Papua pada tahun 2020 dan menetapkan sebagai Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan;

Gubernur Propinsi Propinsi Papua melalui Biro Hukum Propinsi Papua segera hentikan perumusan Rencana Peraturan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) selanjutnya Gubernur Propinsi Papua dan Gubernur Propinsi Papua bersama Ketua DPRP dan Ketua DPRPB dengan Ketua MRP Papua dan Papua Barat mendorong penguatan atau pembentukan Perwakilan Komnas HAM dan Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai rekomendasi Pasal 45 ayat (2), Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua demi memenuhi hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat di Papua yang dijamin pada Pasal 28d ayat (2) UUD 1945;

“Kapolda Papua, Kajati Papua dan Kepala Pengadilan Tinggi Papua wajib perintahkan bawahannya untuk melindungi hak anak dalam penegakan hukum terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum dalam rangka penegakan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Mahkama Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,” Katanya. (Lex)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer

Komentar Terbaru

error: Content is protected !!