Dihadang Polisi dan Rencana Audiensi Batal
JAYAPURA-Guna mencari kejelasan terhadap nasib masa depan, maka dalam waktu dekat direncanakan mahasiswa eksodus akan melakukan pertemuan dengan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP).
Menanggapi pertemuan itu, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobai,SH,MH meminta agar MRP segera agendakan kembali audiensi dengan mahasiswa eksodus guna mendengar aspirasi mahasiswa eksodus yang hampir satu tahun menetap di Tanah Papua.
“MRP segera agendakan kembali audiensi dengan mahasiswa eksodus sebagai wujud implementasi Pasal 28F, UUD 1945,” kata Gobai melalui press release yang diterima Bintang Papua, Senin (7/12).
Gobai menceritakan, awalnya pada pukul 10.14 WIT, mahasiswa eksodus telah tiba di kantor MRP kemudian terlihat pintu gerbang tertutup dan di depan TNI-Polri memakai atribut negara lengkap.
Situasi itu membuat mahasiswa eksodus terkejut karena yang hendak dilakukan di kantor MRP adalah audiensi, perihal audiensi yang dimaksudkan sesuai dengan surat permohonan yang dikirimkan ke Lembaga Bantuan Hukum Papua tertanggal 2 Desember 2020.
Melihat situasi itu, Imanus Komba selaku PBH LBH Papua yang mendampingi mahasiswa eksodus melakukan upaya negosiasi dengan pihak kepolisian untuk dapat memberikan ruang kepala mahasiswa eksodus masuk ke kantor MRP melakukan audiensi, namun pihak kepolisian tidak memberikan ruang kepada mahasiswa eksodus masuk ke dalam kantor MRP dengan alasan perintah atasan dan juga belum ada surat izin dari Tim Gugus Provinsi Papua.
“Atas dasar itu pihak kepolsian dengan tegas menyatakan tidak ada kegiatan,” terangnya.
Pada kesempatan itu, semua alasan polisi di atas dijawab oleh salah satu anggota MRP dari 5 (lima) orang anggota MRP yang keluar menemui mahasiswa eksodus bahwasanya MRP sudah pernah melakukan hubungan komunikasi dengan pihak Kapolres dan Kapolda.
Dengan dasar itu MRP buat undangan untuk mahasiswa eksodus datang ke kantor MRP untuk mengadiri audiensi bersama anggota MRP. Dengan catatan dalam suasana Covid-19 ini, mahasiswa harus ikuti peraturan protokol kesehatan dan peserta hanya 20 orang.
Sekalipun demikian, pernyataan anggota MRP tidak dindahkan pihak kepolisian dan selanjutnya secara represif aparat kepolisian bubarkan mahasiswa eksodus dan anggota MRP yang ada di depan gerbang masuk kantor MRP.
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ruang demokrasi mahasiswa eksodus untuk melakukan audiensi dengan MRP dibungkam oleh TNI-Polri,” mirisnya.
Dijelaskannya bahwa pada prinsipnya sampai saat ini wilayah Propinsi Papua atau wilayah Kota Jayapura belum pernah ditetapkan sebagai daerah dengan status PSBB oleh Mentri Kesehatan Republik Indonesia sebagaimana pada Pasal 6 ayat (2), UU Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) junto Pasal 8 ayat (1), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sehingga dalil surat izin dari Tim Gugus Provinsi Papua yang menjadi dasar pembatasan audiensi mahasiswa eksodus dengan MRP patut dipertanyakan dasar hukumnya.
Terlepas dari itu, Emanuel menambahkan melalui pembatasan ini tentunya menambah deretan panjang pembungkaman ruang demokrasi yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan dalil Covid-19 di Papua.
“Pembungkaman ruang demokrasi yang berkaitan dengan MRP ini sebelumnya telah mewarnai bulan November 2020 dimana agenda Rapat Dengat Pendapat (RDP) tentang Evaluasi UU Otsus yang merupakan implementasi Pasal 77, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang dijalankan oleh MRP di Wilayah Adat Tabi, Wilayah Adat Meepago, Wilayah Adat Lapago dan Wilayah Adat Anim-Ha dibatasi dengan mengunakan Maklumat yang dikeluarkan oleh Polda Papua,” jelasnya.
Menurutnya, jika maksud perintah atasan yang dimaksudkan aparat keamanan itu didasari menggunakan Maklumat Kapolda Papua maka tentunya bertentangan dengan hukum sebab Maklumat bukan salah satu jenis perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 7 ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Untuk diketahui bahwa jenis-jenis perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b)Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, pihak LBH Papua menyimpulkan bahwa jika maksud perintah atasan yang dimaksudkan aparat keamanan itu didasari menggunakan Maklumat Kapolda Papua maka jelas bertentangan dengan prinsip “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang” sebagaimana diatur pada pasal 28J ayat (2), UUD 1945 junto Pasal 70, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Atas dasar penyataan anggota MRP terkait MRP sudah pernah melakukan hubungan komunikasi dengan pihak Kapolres dan Kapolda. Dengan dasar itu MRP buat undangan untuk mahasiswa eksodus datang ke kantor MRP untuk mengadiri audiens bersama anggota MRP. Dengan catatan dalam suasana covid 19 ini, mahasiswa harus ikuti peraturan protokol kesehatan dan peserta hanya 20 orang.
“Namun diabaikan oleh pihak kepolisian dengan alasan perintah atasan dan juga belum ada surat izin dari Tim Gugus Provinsi Papua menunjukan fakta pelanggaran hak konstitusi mahasiswa eksodus,” ujarnya.
Pelanggaran hak konstitusi mahasiswa eksodus yang dimaksud khususnya hak tentang “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Hal tersebut di atas ini sebagaimana dijamin pada pasal 28F, UUD 1945.
Berdasarkan kesimpulan itu, LBH Papua mewakili mahasiswa eksodus yang didampingi menegaskan pertama, Kapolda Papua dapat memerintahkan anggotanya untuk menegakan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Pokok-Pokok Hak asasi Manusia dalam tugas-tugas kepolisian dalam menegakan hak konstitusional warga Negara tentang “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” sebagaimana diatur pada pasal 28F, UUD 1945.
Kedua, Ketua MRP segera mengagendakan kembali kegiatan audiensi dengan mahasiswa eksodus untuk memenuhi hak konstitusional mereka khususnya, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” sebagaimana diatur pada pasal 28F, UUD 1945.(lex)