Oleh : Alexander Gobai
Perbincangan Otonomi Khusus (Otsus) antara Jakarta dan Papua semakin memanas dan memancing semua pihak untuk angkat bersuara. Lembaga Pemerintahan, Adat, Masyarakat, Tokoh Papua, Akademik dan Tokoh-Tokoh Papua buatan Jakarta dan Lembaga-lembaga buatan Jakarta serta semua pihak menjadikan Otsus sebagai Topik Utama di akhir-akhir ini.
Pada tanggal 22 Januari 2020, terbitan kompas.com, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta Komisi II DPR RI mengutamakan pembahasan RUU tentang Otonomi Khusus Papua. Sebab, RUU tersebut hanya berlaku selama 20 tahun, sehingga akan berakhir pada tahun 2021.
“Nah ini (RUU tentang Otsus Papua) urgen karena perlu diselesaikan tahun ini, karena tahun depan 2021 UU ini berakhir,” kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR.
Permintaan Tito seakan memberikan legitimasi kepada Tokoh-Tokoh Papua dan lembaga-lembaga Pemerintahan di Papua untuk bersuara. Memuat opini dari masing-masing prespektif tentang keberhasilan dan kegagalan Otsus selama 20 tahun hadirnya Otsus di tanah Papua.
Semua pihak melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mengangkat isu tentang Otonomi Khusus dalam masa pandemi Covid-19 di Indonesia bahkan tanah Papua. Webbiner menjadi wadah untuk menyampaikan gagasan dan ide serta pandangan pemberlakuan Otsus di tanah Papua. Hampir topik yang diangkat mengarah pada Otsus meski berbeda thema dan topik.
Secara khusus, Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara.
Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislatif dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:
1). Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah otonom. 2.) Daerah otonom harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri. 3.) Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi.
4). Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional. 5.) Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. 6.) Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi. 7.) Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya (1997: 90).
Melihat legitimasi dari hadirnya Otonomi Khusus di tanah Papua memberikan kewenangan penuh kepada orang asli Papua menjadi tuan negeri sendiri. Menciptakan dan memberdayakan Sumber daya Manusia orang asli Papua, mensejahterakan Orang Asli Papua, memberikan leluasa kepada Orang Asli Papua untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa ada intervensi darin pihak lain.
Penganggaran Dana Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan Papua barat seperti yang dilansir Kompas.com, Pemerintah pusat di 2020 menganggarkan dana otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 5,86 triliun dan Provinsi Papua Barat Rp 2,51 triliun.
Sementara, jika dihitung sejak awal undang undang otonomi khusus Papua berlaku di 2022, total yang dicairkan pemerintah untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 126,99 triliun. Dana otsus yang diterima oleh Papua sebesar Rp 93,05 triliun sejak 2002 dan Papua Barat sebesar Rp 33,94 triliun sejak 2009.
Secara realita di tanah Papua dan Papua barat, hampir rakyat Papua tidak merasakan dana Otsus yang selama ini diberlakukan kurang lebih 20 tahun di tanah Papua. Psikologi orang Papua hari ini, berupaya membangun opini, kalua Otsus adalah bagian dari upaya pembunuhan karakter orang asli Papua. Buktinya, rakyat Papua hingga kini belum sejahtera secara pribadi dan bahkan secara humaniora. Kaum awam dan masyarakat kecil justru memperkuat posisi untuk menolak Otonomis Khusus yang selama ini dipikirkan “Gula-Gula Jakarta Untuk Orang Papua”.
Tolak dan Lanjut Kampanye Otsus Jilid II
Akar Rumput Rakyat Papua baik Papua barat dengan keberaniannya menolak keras hadirnya Otsus Jilid II di tanah Papua. Demonstrasi dan kegiatan-kegiatan yang bersifat menolak Otsus Jilid II dilakukan secara bertahap.
Mahasiswa dan pemuda di Jawa dan Papua telah melakukan demonstrasi menolak Otsus bahkan telah melakukan Dialog Webbiner Petisi rakyat Papua dlam rangka menolak Otsus jilid II di tanah Papua. Sementara, di lain pihak pun, menuliskan opini dan artikel serta para Tokoh-Tokoh Politik dan Lembaga Pemerintah lainnya bersuara di media menolak Otsus Jilid II.
Di lain pihak, sejumlah elit-elit politik baik di Jakarta dan Papua pun melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya membuka cakrawala dan pola pikir orang Papua agar melihat pemberlakukan Otsus selama ini di Papua. Apakah Otsus selama 20 tahun berhasil dan gagal di tanah Papua dan Papua barat.
Semua pihak elit-elit politik sedang mencari panggung dan tempat untuk berbicara secara menyeluruh agar Otsus bisa dievaluasi kembali.
Seperti dilansir kompas.com, Presiden Joko Widodo meminta dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dievaluasi total menjelang berakhirnya penyaluran dana tersebut pada 2021. Ia mencatat, sejak 2002 Dana Otsus Papua yang telah disalurkan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai Rp 92,24 triliun. Ia meminta angka yang sangat besar itu ditelusuri penggunaannya.
Artinya, Sikap dan kebijakan Pemerintah Pusat memberikan ruang dan kebebasan kepada Papua untuk kembali duduk untuk menggelar pengevaluasian Dana Otsus secara menyeluruh. Baik dari sisi Aspek, Ekonomi, Sosial Budaya, Pendidikan, Infrasruktur, Kesehatan bahkan Aspek Politik.
Jelang Evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) seperti yang dilansir jubi.co.id, Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan ada tiga langkah penting dalam evaluasi nanti. Pertama, pihaknya melakukan reses ke setiap instansi atau dinas untuk meminta laporan dan penjelasan penggunaan dana Otsus Papua selama 20 tahun.
Legitimasi dari semua intansi menjadi tolak ukur keberhasilan dan kegagalan hadirnya Otsus di tanah Papua. Meski demikian, MRP sebagai Lembaga repsentase kultur orang asli Papua perluhnya mengevaluasi dari sisi Politik. Artinya, penolakan Otsus jilid II akibat adanya gesekan unsur politik yang mestinya dievaluasi kembali.
Contoh bukti nyata, mahasiswa, pemuda dan rakyat Papua secara spontanitas menolak Otsus dan meminta Referendum. Sementara dilain pihak mendesak agar Otsus jilid II ini harus diberlakukan. Semua pihak sedang bermain baik. Sebagai Lembaga Eksekutif, Legislatif bahkan Yudikatif.
Contoh berikut, Kapolda Papua beberapa hari lalu dalam media cetak di Papua menyatakan, Tidak boleh ada aksi kampanye tolak
Otsus. Sikap dan kebijakan sebagai Lembaga Yudikatif seharusnya menjadi tokoh untuk memberikan solusi dan tidak memberikan legitimasi dengan memberitakan di media kalau melarang aksi kampanye Otsus.
Sikap yang tidak elegan dalam negara yang berdemokrasi ini. Justru sikap itu memberikan peluang kepada mahasiswa, pemuda dan rkayat Papua untuk lebih militan untuk berkampanye, baik demonstrasi dan kampanye-kampanye tolak Otsus melalui media.
Sebagai Solusi dari rangkain tulisan ini, MRP sebagai wadah orang asli Papua mesti hadir dan berpihak kepada orang asli Papua dalam memberikan ruang yang seluas-luas kepada rakyat Papua untuk hadir dan berbicara di dalam satu wadah yang resmi, berdialog dan mencari solusi demi kepentingan rakyat Papua dan nasib bangsa Papua kedepan.
Hadirkan, semua pihak, tak terkecuali organisasi kiri, seperti KNPB, ULMWP, dan TPNPB untuk duduk berdialog mencari solusi demi Papua yang baik kedepan.
Sebagai rekomendasi, apabila MRP tidak bisa menghadirkan semua pihak seperti yang sudah disebutkan diatas, maka, Organisasi Kiri yang akan mengundang semua Lembaga dan duduk berdialog mencari solusi demi Papua yang lebih baik.
Penulis Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa USTJ, Eks Tapol Korban Rasisme di Balikpapan, Kalimantan Timur.